Variasi Faktor Budaya Yang Mempengaruhi Kesehatan Anak Di Indonesia

1 tahun yang lalu
Ditinjau oleh : Admin MCU

19 Dec 2022

"Author : Ns. Savitri Gemini, M.Kep (Institut Kesehatan Mitra Bunda)"

Artikel MCU 19 Desember 2022 - Budaya merupakan suatu keyakinan yang mempengaruhi gaya hidup seseorang yang dapat mempengaruhi berperilaku serta bersikap. Budaya dapat membentuk kebiasaan dan respon terhadap kesehatan meliputi kesadaran budaya, pengetahuan budaya, kepekaan terhadap budaya, hingga saat ini sistem kepercayaan atau budaya di Indonesia memiliki adat istiadat tertentu yang dapat mempengaruhi status Kesehatan anak. (Yuarnistira et al., 2019). Mulai dari didalam kandungan sampai berumur 18 tahun berbagai upaya kesehatan anak telah dilakukan. Dengan tujuan mempersiapkan generasi cerdas, sehat, serta kualitas dan kematian anak menurun. Periode  emas  merupakan periode yang harus memperhatikan tumbuh  kembang anak,  sehingga penting memperhatikan pola asuh serta status gizi anak. Pola asuh anak meliputi pola melakukan perawatan dan pola pemberian makan kepada anak.  Orang  tua  yang  mampu  memberikan  pola  asuh  yang benar maka status gizi anak akan baik,  (Khasanah Nur, 2011).


Budaya mempengaruhi praktik membesarkan anaknya.  Pola asuh yang digunakan oleh orang tua seringkali ditentukan oleh latar belakang budaya dan pola asuh mereka sendiri(Sahithya et al., 2019). Pola asuh mempengaruhi kebiasaan dan kebudayaaan setempat bukan saja memberi makanan tetapi dalam perawatan anakn yang sakit mempunyai persepsi dalam menentukan cara pengobatannya. Perbedaan pandangan menyebabkan perbedaan persepsi masyarakat dalam mencarian pengobatan (Khasanah Nur, 2011). Ruang Lingkup dalam dalam penulisan makalah ini adalah variasi faktor budaya yang mempengaruhi kesehatan anak di Indonesia dengan untuk mengetahui variasi faktor budaya yang mempengaruhi kesehatan anak Indonesia.


Kesehatan merupakan unsur kesejahteraan manusianyyang harus terwujud sesuai dengan cita bangsa Indonesia. Anak yang sehat adalah merupakan anak yang secara fisik dan psikis sehat. Kesehatan anak dimulai dari variasi makan yang sehat dan teratur. Pengasuhan merupakan proses yang dinamis, dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. faktor ini sanga penting yang berkontribusi terhadap perkembangan anak dan psikopatologi masa kanak-kanak. Gayanpengasuhan berpedoman dari sikap dan perilaku orang tua yang digunakan orang tua, secara konsisten di seluruh konteks yang mengatur perilaku anaknmereka, dan ditentukan oleh hukuman, pola kontrol, kehangatan dan daya tanggap. Sementara beberapa konseptualisasi gaya pengasuhan telah digambarkan, sebagian besar studi yang diterbitkan tentang gaya pengasuhan berfokus pada kuantitas dan kualitas respons/kehangatan orang tua, kontrol/ketuntasan, dan disiplin dalam pengasuhan. Klasifikasi sebagian besar didasarkan pada interaksi antara orang tua dan anak dalam dua dimensi: kontrol orang tua/harapan/ketuntasan dan kehangatan/bimbingan/tanggapan orang tua. Budaya membantu membangun pola asuh, dan dipertahankan serta transmisi yang mempengaruhi pengetahuan orang tua yang nantinya membentuk suatu praktikanpengasuhan (Bornstein, 2012).


Perbedaan budaya antara budaya di Eropa dan Asia adalah suatu konsep kebebasan dengan saling ketergantungan, negara Eropa menganut budayaaindividualis dengan penekanan pada tujuan pribadi, sedangkan dalam masyarakat interdependen atau kolektif seperti Asia menekankan dan mengutamakan kepentingan keluarga serta  tujuan bersama. Oleh karena itu, praktek mengasuh dalam budaya barat lebih memperlihatkan ekspresi diri, kemandirian, dayaasaing, dan sedangkan dalam budaya Asia lebih menekankan pada kepatuhan, kesesuaian, rasa hormat terhadap orang yang lebih tua, dan saling ketergantungan sosial sebagai hasil dari norma budaya yang bervariasi sehingga pengaruh gaya pengasuhan berpengaruh pada perkembangan anak (Huang et al., 2017).


Orang tua terutama ibu mempunyai peran sangat penting dalam mengasuh anak dibawah lima tahun (balita), dikarenakan belum mampu mengatur pola makannya sendiri. Sementara  pengaruh budaya setempat dan terbatasnya pengetahuan ibu menjadi kendala dalam mengasuh balita. Dimana setiap masyarakat mempunyai aturan dalam menentukan kuantitas, kualitas serta jenis makanan yang seharusnya dan tidak dikonsumsi.

Berdasarkan studi literatur yang dilakukan melalui beberapa sumber data maka didapatkan hasil variasi faktor budaya Kesehatan anak di Indonesia adalah

1.    Persepsi Dalam Pemberian Air Susu Ibu
Masyarakat di Indonesia melihat pandangan budaya tercermin didalam perilakunya mempunyai persepsi yang berbeda yang berkaitan dalam pola memberikan makanan pada bayi. Dalam memberikan air susu ibu (ASI)  bagi masyarakat bukan masalah yang besar karena ibu selalu memberikan bayi ASI, yang menjadinmasalah adalah pola pemberian tidak sesuai atau salah dengan konsep medis sehingga dapat menimbulkan dampak negative terhadap pertumbuhan dan kesehatan bayi. Selain itu produksi dan kualitas ASInya kurang dikarenakan  banyak pantangan makanan yang dikonsumsi ibu pada saat hamil maupun sesudah melahirkan. (Khasanah Nur, 2011)

2.    Faktor Sosial Ekonomi
Faktor kesehatan sosial, seperti kemiskinan, kurangnya akses ke layanan kesehatan, kurangnya akses ke pendidikan, stigma, rasisme, dan bias gender, diidentifikasi sebagai beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap ketidaksetaraan kesehatan. Faktor sosial ekonomi keluarga dapat dilihat  dengan dari jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga menjadi aspek yang bisa dilihat didalam faktor sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi sangat mempengaruhi angka kematian bayi serta balita (Sumampouw et al., 2019)

3.    Pemberian Susu Formula
Di Indonesia, pemberian ASI dini dan ASI eksklusif menunjukkan trend yang meningkat. Data tentang menyusui menunjukkan bahwa rata-rata durasi menyusui adalah 20,6 bulan dan rata-rata pemberian ASI eksklusif adalah 4,4 bulan. Namun, penggunaan susu formula meningkat pesat. Data menunjukkan peningkatan yang luar biasa dalam penggunaan susu formula yang bertentangan dengan program pemerintah untuk meminimalkan prevalensi pemberian makanan bayi jenis ini. Penelitian yang telah dilakukan melihat  efek negatif dari mengkonsumsi susu formula dalam hal mortalitas dan morbiditas. Susu formula biasanya memberikan ASI secara berbeda dari menyusui dengan cara yang dianggap menghambat transisi ke menyusui penuh.
Karakteristik botol dan gigi telah terbukti mempengaruhi pemberian makan bayi dan asupan susu dan pemberian susu formula merupakan faktor risiko kenaikan berat badan yang cepat selama enam bulan pertama kehidupan bayi. Bayi yang diberi susu formula memiliki resiko kenaikan berat badan yang cepat dibandingkan dengan bayi yang diberi air susu ibu (ASI). Hal ini juga dapat menyebabkan faktor risiko yang lebih tinggi untuk obesitas. Pemberian susu botol telah dikaitkan dengan efek kesehatan yang merugikan, seperti risiko mengembangkan hubungan yang salah antara gigi. Penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian susu botol dapat menyebabkan karies gigi. Faktor yang berhubungan dengan pemberian susu botol adalah status pendidikan ibu, Ibu yang bekerja, Pendapatan keluarga, ibu yang tinggal di perkotaan lebih cenderung menggunakan botol untuk menyusui dibandingkan dengan ibu yang tinggal di pedesaan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kampanye pendidikan di semua lapisan masyarakat tanpa memandang status ekonomi(Nasrul et al., 2020)

4.    Pola Pemberian Makan
Pola pemberian makan ibu pada anak sangat dipengaruhi oleh interaksi antara individu dengan keluarga, faktor sosial ekonomi, budaya dan faktor Pendidikan. Pandangan budaya dapat mempengaruhi pemberian makan pada anak, hal ini berdampak pada sikap, perilaku, dan respon yang diberikan ibu kepada anaknya. Ibu sebagai mediator penting antara nilai budaya anak dan pemberian makan karena kebiasaan makan pada orang tua memungkinkan orang tuanmelakukan hal yang sama terhadap anaknya. Norma budaya dapat menjadi  acuan orang tua dalam pemberian makan pada anak. Salah satu perilaku yang dipengaruhi oleh tradisi di Indonesia adalah menganggap bahwa anak yang sehat adalah anak yang gemuk. Salah satu kebiasaannya adalah memberikan makanan tambahan pada bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dengan makanan yang disebut lotek (nasi yang dihancurkan pisang) menjadi anak yang gemuk, hal ini mengakibatkan kerusakan pada saluran pencernaan bayi dan memicu terjadinya infeksi yang mengakibatkan anak menderita gizi buruk.  Beberapa literatur dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pola makan dan perilaku orang tua seperti pemantauan asupan gizi, pembatasan jumlah makanan, respon diet, dan memperhatikan status gizi anak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap status gizi anak. Ada dua faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita, yaitu faktor langsung yang terdiri dari asupan gizi dan penyakit infeksi, sedangkan faktor tidak langsung meliputi ketersediaan makanan, pola asuh, pelayanan kesehatan, dan sanitasi lingkungan(Yuarnistira et al., 2019).
Fenomena lain  menunjukkan bahwa ibu kurang memperhatikan tanda-tanda anak lapar, memberikan makanan yang tidak sesuai dengan selera yang diharapkan anak, serta mendorong anak untuk makan banyak atau membatasi makannya. Kurangnya kemampuan ibu dalam memilih makanan yang tepat untuk anaknya ibu membujuk anak dengan berbagai cara tanpa memperhatikan tanda-tanda lapar dan kenyang. pembatasan keinginan makan anak juga ditemukan masih dominan dilakukan oleh ibu-ibu. Pembatasan asupan makanan mempengaruhi jumlah gizi yang dapat diterima anak dan berhubungan dengan status gizi anak. Pembatasan ini dilakukan oleh para ibu karena persepsi dan kekhawatiran mereka bahwa anak mungkin mengonsumsi makanan dalam jumlah berlebihan. tindakan pemberian makan yang tidak responsif ini meningkat ketika ibu merasa anaknya kelebihan berat badan. Pembatasan ini menjadi salah satu faktor penyebab stunting (Novitasari & Wanda, 2020)
Mayoritas ibu membeli makanan bayi instan dan bubur nasi kukus instan sebagai makanan pendamping. Beberapa alasan mereka memberikan makanan bayi instan kepada anak-anak mereka adalah rasa dan kurangnya waktu untuk memasak. Ini menggambarkan praktik dan perilaku pemberian makan ibu tentang anak 6-36 bulan. Kepatuhan untuk tidak memberikan ASI dan pengakuan akan kebutuhan makanan tambahan relatif tinggi; namun, keragaman diet dan frekuensi pemberian makan yang tepat tidak dipatuhi dengan baik. Makanan kemasan dan instan misalnya., sup instan, dan mie, telur, susu, oat, dan sereal bayi Nestlé, juga dikonsumsi secara teratur. frekuensi pemberian makan berhubungan dengan status gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekuensi makan yang lebih rendah meningkatkan kemungkinan stunting. Bayi yang tidak menerima keragaman diet minimum dan frekuensi makan secara signifikan lebih mungkin menderita stunting. Anak-anak dari ibu yang tidak mengonsumsi cukup makanan selama kehamilan dan menyusui memiliki risiko 1,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang mengonsumsi cukup makanan selama periode tersebut. Keterbatasan akses pangan, rendahnya ketersediaan pangan, dan kurangnya pengetahuan gizi menjadi faktor penyebabnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:  pemberian makanan bayi instan dan bubur kukus instan sebagai makanan pendamping; jadwal makan porsi kecil 2-3 kali per hari; variasi makanan yang tidak memadai; dan  kekurangan zat besi.(Damanik et al., 2020)


Kesehatan anak karena efek pandemik
Peningkatan penularan virus Covid-19 dari kota sampai desa menyebabkan kehilangannpendapatan yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menyebabkan ketidakstabilan situasi ekonomi didalam keluarga yang akhirnya  menimbulkan kemiskinan. Hilangnya  pekerjaan satu demi satu yang meningkatnya kemiskinan hal ini akan mempengaruhi kesehatan anak-anak di Indonesia. Keluarga dan anak-anak mengalami kemiskinan  dalam waktu singkat  berdampak  pada keamanannpangan rumah tangga, keterbatasan akses, ketersediaan serta  keterjangkauan bahan makanan sehat. Berdasarkan dampak tersebut terjadi krisis gizi karena masalah keuangan selalu  mengurangi porsi makan. Penyebab langsung dari krisis gizi adalah malnutrisi berupa  cara menyusui dan produksi asi yang tidak memadai serta  pola makanayang buruk, serta pengasuhan yang belum optimal; serta tingginya angka penyakit menular utamanya akibat lingkungan tempat tinggal yang tidak bersih dan akses kelayanan kesehatan yang kurang memadai.(Unicef, 2020)
Krisis gizi menyebabkan anak kurus karena kekurangan zat gizi mikro. Anak yang mengalami gizi buruk dan beresiko kematian dibandingkan pada anak dengan gizi baik. Anak yang sembuh dari gizi buruk mengalami masalah perkembangan dan pertumbuhan. Dampak jangka panjang krisis gizi menyebabkan kenaikan prevalensi stunting. selain itu terjadi juga kelebihan berat badan disebabkan terbatasnya aktifitas dan meningkatnya mengkonsumsi makanan olahan secara terus-menerus yang mengandung garam, lemak dan kadar gula yang tinggi.(Unicef, 2020). Selain itu kondisi pandemi menyebabkan peningkatan kekurangan gizi pada ibu, karena  penyediaan  pangan dalam rumah tangga serta perawatan ibu menyusui yang tidaknmemadai menyebabkan ibu mengalami anemia dan kurangnya berat badan, tentu hal ini  berdampak pada Kesehatan bayi karena ibu yang menyusui mengalami  kekurangan gizi.(Unicef, 2020)

Referensi :

Bornstein, M. H. (2012). Cultural Approaches to Parenting. Parenting, 12(2–3), 212–221. https://doi.org/10.1080/15295192.2012.683359
Damanik, S. M., Wanda, D., & Hayati, H. (2020). Feeding practices for toddlers with stunting in Jakarta: A case study. Pediatric Reports, 12. https://doi.org/10.4081/pr.2020.8695
Huang, C. Y., Cheah, C. S. L., Lamb, M. E., & Zhou, N. (2017). Associations Between Parenting Styles and Perceived Child Effortful Control Within Chinese Families in the United States, the United Kingdom, and Taiwan. Journal of Cross-Cultural Psychology, 48(6), 795–812. https://doi.org/10.1177/0022022117706108
Kemenkes. (2020). Buku Profil Kesehatan indonesia 2019.
Khasanah Nur. (2011). DAMPAK PERSEPSI BUDAYA terhadap Kesehatan Reproduksi Ibu dan Anak di Indonesia. http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/273/244
Nasrul, N., Hafid, F., Ramadhan, K., Suza, D. E., & Efendi, F. (2020). Factors associated with bottle feeding in children aged 0–23 months in Indonesia. Children and Youth Services Review, 116. https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2020.105251
Novitasari, P. D., & Wanda, D. (2020). Maternal feeding practice and its relationship with stunting in children. Pediatric Reports, 12. https://doi.org/10.4081/pr.2020.8698
Sahithya, B. R., Manohari, S. M., & Vijaya, R. (2019). Parenting styles and its impact on children–a cross cultural review with a focus on India. Mental Health, Religion and Culture, 22(4), 357–383. https://doi.org/10.1080/13674676.2019.1594178
Sumampouw, O., Nelwan, J., & Rumayar, A. (2019). Socioeconomic factors associated with diarrhea among under-five children in Manado Coastal Area, Indonesia. Journal of Global Infectious Diseases, 11(4), 140. https://doi.org/10.4103/jgid.jgid_105_18
Unicef. (2020). COVID-19 dan Anak-Anak di Indonesia. https://www.unicef.org/press-releases/un-launches-global-
Yuarnistira, Nursalam, N., Rachmawati, P. D., Efendi, F., Pradanie, R., & Hidayati, L. (2019). Factors Influencing the Feeding Pattern of Under-Five Children in Coastal Areas. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 246(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/246/1/012008