Pernikahan Usia Anak Dalam Perspektif Kesehatan Reproduksi

1 tahun yang lalu
Ditinjau oleh : Raka

08 Feb 2023

"Author: Ns. Titi Astuti, M.Kep., Sp.Mat."

Artikel MCU 7 Februari 2023 - Di Era Revolusi Industri 4.0 saat ini, tantangan pembinaan ketahanan remaja sangat kompleks, baik dari aspek remaja, orang tua dan keluarga. Dari aspek remaja, diantaranya pubertas/kematangan seksual yang semakin dini (aspek internal) dan aksesibilitas terhadap berbagai media serta pengaruh negatif sebaya (aspek eksternal) menjadikan remaja rentan terhadap perilaku seksual berisiko. Remaja menjadi rentan mengalami pernikahan di usia anak, kehamilan tidak diinginkan, dan terinfeksi penyakit menular seksual hingga aborsi yang tidak aman.


Menurut SDKI (2017) terkait dengan kesehatan reproduksi remaja menunjukkan perilaku pacaran menjadi titik masuk pada praktik perilaku berisiko yang menjadikan remaja rentan mengalami kehamilan di usia anak, kehamilan di luar nikah, kehamilan tidak diinginkan, dan terinfeksi penyakit menular seksual hingga aborsi yang tidak aman. Survei tersebut menunjukkan: sebagian besar remaja wanita (81%) dan remaja pria (84%) telah berpacaran. 45% remaja wanita dan 44% remaja pria berpacaran di usia 15-17 tahun. Sebagian remaja wanita dan remaja pria mengaku saat berpacaran melakukan aktivitas berpegangan tangan (64% wanita dan 75% pria), berpelukan (17% wanita dan 33% pria), cium bibir (30% wanita dan 50% pria) dan meraba/diraba (5% wanita dan 22% pria).


Fakta menunjukkan bahwa orang menikah berkali kali dalam periode kehidupannya. Penyebabnya karena perkawinan dilakukan dalam situasi dan kondisi yang memaksa seseorang melakukan perkawinan pada usia anak  dan belum cukup umur atau yang sering disebut dengan perkawinan usia anak sehingga beresiko mengalami perceraian. Menurut penelitian Hermawan (2010) yang dilakukan di Pengadilan Agama Klaten, menemukan perceraian terjadi pada pasangan suami-istri menikah di usia anak dikarenakan belum stabilnya emosi mereka.


Perkawinan usia anak , salah satu fokus utama yang dibahas pada kerangka kerjasama Sustainable Development Goals (SDGs). Pemerintah di seluruh dunia sudah sepakat menghapus perkawinan anak pada 2030. (United Nations Depelopment Programe, UNDP). Beberapa ahli mengemukakan pendapat tentang perkawinan usia anak antara lain menurut UNICEF perkawinan usia anak, perkawinan dilakukan seseorang sebelum ia mencapai usia 18 tahun dimana seorang wanita secara fisik, fisiologis maupun psikis belum mampu bertanggung jawab terhadap perkawinannya dan terhadap anak-anak mereka. Hal ini sedikit berbeda dengan batasan usia perkawinan usia anak yang dikemukakan oleh BKKBN yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang sebelum mencapai usia 20 tahun (BKKBN, 2010).


Pernikahan usia anak merupakan mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap, dan cara berpikir serta bertindak, namun bukan pula orang dewasa yang telah matang. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2015, sebanyak satu dari empat anak perempuan di bawah usia delapan belas tahun pernah menikah. Pada tahun 2017, sebanyak dua dari lima anak perempuan usia 10–17 tahun pernah menikah. Angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih perlu menaruh perhatian lebih pada kasus pernikahan usia anak.


Secara umum, pernikahan usia anak dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tingkat pendidikan kurang, faktor adat, pengaruh media massa, dan kondisi-kondisi tertentu seperti kehamilan di luar nikah (Rejeki,2016). Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara holistik dan komprehensif yang mencakup semua kebutuhan yang berhubungan dengan anatomi dan fisiologi sistem reproduksi. Hal ini juga mencakup bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan selama hidupnya. lingkup kesehatan reproduksi mencakup keadaan bio-psikososial, dan siklus kehidupan manusia dari sejak saat pembuahan sampai meninggal dunia, pemeliharaan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, program keluarga berencana, pencegahan dan penatalaksanaan infeksi saluran reproduksi, pencegahan dan penanggulangan aborsi, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan infertilitas, kanker serviks, mutilasi genetalia, fistula dll (Depkes RI, 2000).


Terdapat dua paket pelayanan kesehatan reproduksi yang meliputi pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif (PKRK) dan pelayanan kesehatan reproduksi esensial (PKRE). Pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif meliputi kesehatan bayi dan anak, remaja, infertilitas, kekerasan terhadap perempuan, kesehatan dan kesejahteraan maternal, penyakit menular seksual dan HIV/AIDS, penyakit kanker dan alat reproduksi. Pelayanan kesehatan reproduksi esensial meliputi keluarga berencana, kesehatan dan kesejahteraan maternal, pencegahan dan manajemen komplikasi aborsi, penyakit menular seksual dan HIV/AIDS, infertilias dan kesehatan reproduksi remaja (Kusmiran, 2014).


Pendekatan yang diterapkan pada kesehatan reproduksi adalah pendekatan siklus kehidupan yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan kebutuhan sistem kesehatan reproduksi pada setiap jenjang kehidupan. Hal ini jika tidak diperhatikan dengan baik akan dapat menimbulkan dampak buruk pada proses kehidupan selanjutnya seperti pada saat ibu menjalani kehamilan dan konsepsi, melewati fase tumbuh kembang bayi, anak dan remaja, masalah-masalah pada saat memasuki usia subur. Hak-hak kesehatan reproduksi yang dimaksud adalah setiap orang berhak memperoleh standar pelayanan kesehatan reproduksi yang terbaik, berhak mendapatkan informasi dan pendidikan tentang seksualitas, reproduksi dan penatalaksanaan dalam mengatasi masalah kesehatan reproduksi. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan KB.


Setiap perempuan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya mulai dari kehamilan, persalinan dan masa nifas. Setiap anggota pasangan suami-istri berhak memiliki hubungan yang didasari penghargaan. Setiap remaja berhak memperoleh informasi yang tepat dan benar tentang reproduksi termasuk penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. Setiap Remaja terhindar dari kasus pelecehan seksual, diskriminasi, pemerkosaan dan memiliki kesempatan mengikuti organisasi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi (Depkes RI, 2002 dan ICPD,1994). Pelayanan kesehatan reproduksi memiliki peranan yang sangat penting sehingga setiap orang dapat merencanakan, melaksanakan fungsi reproduksinya dengan optimal. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) menunjukkan hasil bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi belum memadai. Data yang diperoleh adalah hanya 35,3 % remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki usia 15-19 tahun mengetahui jika seorang perempuan dapat hamil pada hubungam seks pertama kali. Para remaja juga belum mengetahui secara memadai tentang informasi penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS dan sarana prasarana yang menunjang kesehatan reproduksi remaja.


Dampak yang terjadi karena perkawinan usia dini terutama pada kesehatan reproduksi perempuan adalah munculnya penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS, kehamilan yang tidak diinginkan, berbagai komplikasi kehamilan disebabkan oleh alat reproduksi belum siap menerima kehamilan, meningkatnya kasus perdarahan pada saat persalinan yang dapat meningkatkan resiko komplikasi bahkan kematian pada ibu (AKI). Resiko terkena kanker servik mengalami peningkatan 10 kali lebih besar pada seseorang yang melakukan hubungan seks pada usia kurang dari 15 tahun apalagi dilakukan dengan lebih dari 6 orang (Kumalasari, 2016).


Organ reproduksi masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan dan belum siap untuk melakukan hubungan seksual, mengalami kehamilan dan melahirkan pada fase anak-anak dan remaja. Jika hal ini terjadi maka bisa menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan reproduksi remaja tersebut (Rosalia Devi, 2012).


Pencegahan pernikahan usia anak menurut Teguh (2016) yang pertama: Pembelajaran Agama, untuk mencegah pernikahan usia anak dengan perbanyak beribadah serta mengenali batasan usia menikah dalam agama Islam. kedua: Pendidikan  Orang tua: seperti anak gadis, tidak hanya sekolah pula mengisi waktu dengan mengajarkannya memasak. Sedangkan buat anak pria, tambahannya orang tua mengarahkannya dengan metode menolong ibu dan bapaknya; ke tiga, menghindari Pergaulan bebas, karena pergaulan semacam itu sangat menyesatkan diusia anak

Referensi :

Badan Pusat Statistik, (2017). Satistik Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). (2017). Jakarta : BKKBN,

 

BKKBN. (2010). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : PT Bina. Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

 

BKKBN. (2012). Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2012: Kesehatan. Reproduksi  Remaja. Jakarta: BKKBN

 

Djamilah, Reni Kartikawati. Dampak Perkawinan Anak di Indonesia. J Studi Pemuda. 2014;3(13):1-12

 

Firmansyah, Teguh. 2016. Tiga Cara Menghindari Pernikahan Dini. http://m.republika.co.id/ berita/nasional/ umum/16/07/26/ oawxvs377 –tiga-cara-menghindari-pernikahan-dini. diakses 8 Oktober 2021.

 

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI

 

Kusmiran, E. (2014). Kesehatan reproduksi remaja dan wanita. Jakarta : Salemba Medika.


Redjeki Rr Dwi Sogi Sri , Nita Hestiyana, Riska Herusanti. Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini Di Kecamatan Hampang Kabupaten Kotabaru. Dinamika Kesehat.2016:3(5):30-42