16 May 2023
1112
2
Artikel MCU 16 Mei 2023 - Alasan paling kuat untuk membiarkan persalinan dimulai dengan sendirinya atau berlangsung secara alami adalah dengan membiarkan hormon kelahiran mengatur persalinan dan kelahiran, menyusui, dan ikatan antara ibu dan bayi seperti yang diinginkan oleh “Alam” secara fisiologis. Melahirkan secara fisiologis mengacu pada melahirkan anak sesuai dengan proses biologis yang sehat. Peran penting dalam menciptakan persalinan yang alami dimainkan oleh lima hormon utama yaitu: oksitosin, beta-endorfin, epinefrinnorepinefrin, katekolamin dan prolaktin.
1. OKSITOSIN
Oksitosin adalah hormon reproduksi yang kuat dengan efek luas pada otak dan tubuh semua mamalia dengan memediasi pengeluaran sperma, kontraksi persalinan dan pengeluaran susu. Oksitosin juga mengurangi stres dengan mengaktifkan sistem saraf parasimpatis yang meningkatkan ketenangan, koneksi, penyembuhan dan pertumbuhan serta dengan mengurangi aktivitas dalam sistem saraf simpatik yang mengurangi rasa takut, stres dan hormon stres juga meningkatkan kemampuan bersosialisasi. Oksitosin memiliki waktu paruh yang pendek tetapi efeknya dapat diperpanjang karena memodulasi sistem hormon otak lainnya (neuromodulasi).
Kadar oksitosin dalam darah maupun jumlah reseptor oksitosin di seluruh tubuh ibu meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan. Namun, lonjakan akhir pada reseptor oksitosin dan kadar oksitosin mungkin tidak terjadi sampai hari-hari terakhir sebelum dimulainya persalinan secara spontan. Membiarkan persalinan dimulai dengan alami membuat jumlah reseptor oksitosin dan jumlah oksitosin alami yang ada di dalamnya menjadi optimal sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa persalinan dan kelahiran akan berlangsung secara optimal dan proses menyusui maupun ikatan antara ibu dan bayi akan dimulai dengan sebaik mungkin.
Pada periode perinatal, oksitosin mengoptimalkan transisi persalinan, kelahiran dan postpartum ibu dan bayi melalui:
Peningkatan reseptor oksitosin di rahim (studi pada manusia) dan reseptor oksitosin di otak dan kelenjar susu (studi pada hewan coba) memaksimalkan efek oksitosin sebelum persalinan. Satu jam atau lebih setelah kelahiran fisiologis adalah periode sensitif ketika terjadi interaksi dari kulit ibu ke bayi yang dapat mendorong aktivitas oksitosin menjadi memuncak sehingga memberikan manfaat yaitu:
Studi pada hewan coba menunjukkan terdapat lonjakan oksitosin ibu dalam 24 jam selama waktu persalinan spontan. Lonjakan oksitosin ini diperkirakan akan ditransfer ke otak janin melalui plasenta dan sawar darah otak janin yang belum matang. Oksitosin mengurangi kebutuhan oksigen di otak janin, sehingga memberikan efek neuroprotektif bagi otak janin selama persalinan. Pemberian oksitosin sintetik untuk induksi persalinan pada kondisi persalinan tertentu memiliki dampak buruk yang telah ditemukan pada wanita dan bayi. Efek tersebut antara lain:
Pemberian analgesia epidural dapat mengurangi kadar oksitosin ibu dalam persalinan yang kemungkinan disebabkan karena mati rasa dari umpan balik sensorik yang mendorong pelepasan oksitosin sentral. Memiliki dampak sebagai berikut:
2. BETA-ENDORFIN
Beta-endorfin adalah opioid endogen yang memberikan respons analgesik dan adaptif terhadap stres dan nyeri. Beta-endorfin juga mengaktifkan pusat penghargaan dan kesenangan otak, memotivasi dan menghargai perilaku reproduksi dan sosial serta mendukung fungsi kekebalan, aktivitas fisik dan kesejahteraan psikologis. Seperti reseptor oksitosin dan oksitosin, reseptor endorfin dan endorfin juga meningkat secara bertahap selama kehamilan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ibu hamil yang berolahraga secara teratur memiliki kadar endorfin yang lebih tinggi saat mereka melahirkan dan dilaporkan lebih sedikit mengalami nyeri persalinan dibandingkan ibu hamil yang tidak berolahraga secara teratur. Membiarkan persalinan berlangsung dengan alami dan berolahraga secara teratur selama kehamilan akan memungkinkan ibu memulai persalinan dengan tingkat endorfin yang optimal. Pada masa persalinan hingga periode postpartum, beta-endorfin memberikan efek yaitu:
Stres ibu yang berlebihan dalam persalinan akibat lingkungan maupun pertolongan persalinan yang tidak nyaman dapat menyebabkan (suprafisiologis) beta-endorfin yang dapat menghambat oksitosin dan memperlambat persalinan (studi pada hewan coba). Sebagai alternatif, kadar beta-endorfin (infrafisiologis) yang terlalu rendah mungkin tidak memberikan pengurangan stres dan nyeri yang memadai atau mengaktifkan kesenangan dan penghargaan pasca persalinan. Tingkat optimal beta-endorfin untuk mengurangi stress, rasa sakit dan peningkatan kemajuan persalinan kemungkinan bervariasi di antara ibu melahirkan.
Pemberian analgesia epidural selama persalinan efektif mengurangi rasa sakit tetapi akan menurunkan kadar beta-endorfin ibu sampai tingkat tertentu. Hal ini mungkin bermanfaat jika stres yang berlebihan menghambat persalinan. Namun, penurunan betaendorfin seperti yang ditemukan pada pemberian analgesia epidural juga dapat mengurangi aktivasi pusat penghargaan pasca persalinan berdampak pada adaptasi dan perlekatan ibu dimediasi secara hormonal yang juga melibatkan oksitosin.
Ibu yang menjalani operasi caesar mungkin melewatkan peningkatan reseptor opioid pra-persalinan (studi pada hewan coba), puncak beta-endorfin dalam persalinan dan atau aktivasi pusat penghargaan pasca persalinan. Bayi baru lahir yang dilahirkan dari operasi caesar memiliki kadar beta-endorfin yang lebih rendah saat lahir daripada bayi yang lahir pervaginam tetapi kadarnya dapat meningkat setelah lahir.
Pemisahan ibu dan bayi baru lahir pada periode sensitif awal setelah kelahiran fisiologis ketika kadar beta-endorfin meningkat dapat mengganggu aktivasi pusat penghargaan keduanya. Hasil studi pada hewan coba, pemisahan singkat yang berulang pada periode bayi baru lahir menyebabkan dampak yang merugikan pada sistem opioid bayi kemungkinan secara epigenetik memberikan efek pada sensitivitas nyeri dan kecanduan yang bertahan lama.
3. EPINEFRIN-NOREPINEFRIN
Epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin) memediasi respons stres untuk "melawan atau lari". Pelepasan norepinefrin-epinefrin memiliki efek yaitu:
Kecemasan atau situasi dimana ibu bersalin merasa tidak aman dan terganggu dapat memicu peningkatan epinefrin-norepinefrin yang dapat memperlambat atau menghentikan persalinan dan mengurangi suplai darah janin. Stres juga dapat memperlambat persalinan dengan mengurangi oksitosin. Efek jangka panjang yang merugikan terjadi pada keturunannya, memberikan dampak pada perkembangan otak dan respons terhadap stres sebagaimana mengacu pada hasil studi pada manusia dan hewan coba.
Pemberian analgesia epidural dapat secara menguntungkan mengurangi nyeri ibu dan kadar epinefrin yang mungkin dapat menghambat persalinan. Namun, penurunan epinefrin terlalu drastis dapat menyebabkan hipotensi dan hiperstimulasi uterus. Lebih umum, kontraksi berkurang seiring waktu karena oksitosin juga menurun. Penurunan kadar epinefrin-norepinefrin dan oksitosin dengan pemberian analgesia epidural dapat berkontribusi terhadap proses persalinan yang lama dan persalinan dengan tindakan. Pemberian analgesia epidural justru tidak membantu karena dapat meningkatkan hipoksia janin, stres dan hormon stres dalam persalinan sehingga berisiko persalinan dilakukan secara sectio caesarea dan terjadinya gawat janin.
Persalinan seksio caesarea menyebabkan baik ibu maupun bayi mungkin melewatkan peningkatan epinefrin-norepinefrin dan menjadi kurang waspada setelah persalinan untuk melakukan inisiasi menyusui dini. Persalinan caesarea dapat mengganggu respons stres bayi baru lahir dan bayi.
Pemisahan ibu yang sehat dan bayi baru lahir lebih mungkin terjadi setelah operasi caesar yang menyebabkan stres bayi baru lahir dan peningkatan hormon stres. Pemisahan dini juga dapat membuat ibu stres, menghilangkan kesempatan untuk mengurangi epinefrin-norepinefrin untuk dirinya dan bayinya melalui peningkatan oksitosin dengan kontak kulit ke kulit dan interaksi timbal balik. Hasil studi pada hewan coba, pemisahan singkat yang berulang pada periode bayi baru lahir dapat menyebabkan dampak yang merugikan pada sistem hormon stres secara epigenetik dengan efek perilaku seperti depresi pada orang dewasa yang bertahan lama.
Setelah persalinan, kadar epinefrin-norepinefrin turun tajam pada ibu dan bayi. Penurunan ini meningkatkan kontraksi uterus yang dapat membatasi perdarahan ibu. Untuk bayi baru lahir dapat membantu mengurangi konsumsi energi serta kehangatan dan kontak kulit ke kulit yang tidak terganggu.
4. KATEKOLAMIN
Katekolamin janin juga meningkat dalam beberapa minggu atau hari sebelum permulaan persalinan spontan. Katekolamin memainkan peran penting dalam menjaga aliran darah ke jantung dan otak, mempersiapkan paru-paru janin untuk menghirup udara segera setelah lahir dengan mengurangi jumlah cairan di paru-paru. Manfaat lainnya yaitu membantu mobilisasi bahan bakar metabolik untuk periode bayi baru lahir, mempromosikan termoregulasi bayi baru lahir dengan membakar lemak coklat dan mempromosikan bayi baru lahir untuk menyusu dini. Kurangnya lonjakan katekolamin dapat secara signifikan berkontribusi pada morbiditas bayi baru lahir setelah operasi caesar seperti kesulitan bernapas, hipoglikemia, hipotermia dan kantuk yang dapat memengaruhi interaksi ibu dan bayi serta proses menyusui.
5. PROLAKTIN
Prolaktin adalah hormon utama reproduksi serta sintesis ASI. Prolaktin mengadaptasi fisiologi ibu untuk kehamilan dan menyusui, mendorong adaptasi ibu dan merupakan hormon pengasuhan dari ibu dan ayah pada mamalia. Seperti oksitosin dan endorfin, kadar prolaktin meningkat selama kehamilan dengan peningkatan tajam pada saat akhir kehamilan. Memiliki efek mengurangi stres yang juga menguntungkan janin. Peningkatan prolaktin akhir kehamilan juga mendorong pembentukan reseptor prolaktin di otak dan kelenjar susu (studi pada hewan coba). Produksi prolaktin juga meningkat di lapisan rahim (desidua) yang mungkin terlibat dalam proses persalinan. Prolaktin dalam cairan ketuban yang mengisi paru-paru janin dapat membantu persiapan pernapasan. Produksi prolaktin pada janin meningkat mendekati awitan fisiologis persalinan dan dapat meningkatkan transisi bayi baru lahir dengan membantu bayi mengatur suhunya setelah lahir.
Prolaktin secara paradoks menurun seiring kemajuan persalinan (di luar persalinan, stres memicu pelepasan prolaktin). Prolaktin meningkat tajam saat kelahiran semakin dekat kemungkinan karena kadar beta-endorfin dan oksitosin juga berada di puncak yang keduanya merangsang pelepasan prolaktin. Selain itu, prolaktin merangsang pelepasan oksitosin berkontribusi pada peningkatan kadar oksitosin yang berguna pada proses persalinan dan kelahiran lanjut. Peningkatan prolaktin pasca persalinan, bertahan selama beberapa jam setelah kelahiran dapat meningkatkan produksi ASI dan adaptasi ibu. Tingginya kadar prolaktin dan kortisol bersama dengan menyusui dini dan sering dapat meningkatkan pembentukan reseptor prolaktin dengan manfaat untuk produksi susu (teori reseptor prolaktin). Peningkatan kadar prolaktin yang dilepaskan selama menyusui dini telah berkorelasi dengan adaptasi ibu termasuk berkurangnya kecemasan, agresi dan ketegangan otot serta peningkatan keinginan melakukan aktivitas sosial yang dapat membantu ibu untuk memprioritaskan perawatan bayi.
Dengan kadar oksitosin, katekolamin dan prolaktin yang meningkat tajam sekitar waktu permulaan persalinan spontan, jelas bahwa menunggu persalinan dimulai dengan sendirinya akan mengakibatkan ibu dan janin memiliki kadar optimal dari hormon-hormon kelahiran yang penting ini. Dengan tingkat hormon kelahiran yang optimal bayi secara fisiologis siap untuk kehidupan di luar rahim, persalinan berlangsung dengan baik, menyusui lebih mudah dan lebih berhasil dan meningkatkan ikatan ibu dan bayi.
Stres dalam persalinan dapat secara paradoks mengurangi sekresi prolaktin, memberikan tingkat infrafisiologis dalam persalinan dan kelahiran yang berkontribusi memberi dampak negatif berupa stres persalinan dan menyusui. Pemberian analgesia epidural dapat menyebabkan peningkatan prolaktin dalam persalinan dan pengurangan prolaktin postpartum dengan dampak yang tidak diketahui. Induksi dengan oksitosin sintetis juga dapat mempengaruhi pelepasan prolaktin fisiologis. Prostaglandin dapat menghambat prolaktin dengan kemungkinan memberikan dampak pada keberhasilan menyusui.
Persalinan seksio sesarea kemungkinan menghilangkan peningkatan kadar prolaktin sebelum persalinan, persalinan dan postpartum yang semuanya dapat mempengaruhi produksi ASI dan adaptasi ibu. Setelah operasi caesar, pelepasan prolaktin dengan menyusui dini dapat berkurang atau tidak ada. Faktor-faktor tersebut dapat berkontribusi pada penurunan keberhasilan menyusui setelah operasi caesar. Setelah operasi caesar, bayi baru lahir mungkin memiliki kadar prolaktin yang lebih rendah yang mungkin berkontribusi terhadap kesulitan bernapas dan suhu rendah di samping karena kurangnya lonjakan katekolamin.
Pemisahan ibu dan bayi baru lahir yang sehat yang biasanya terjadi setelah operasi caesar juga dapat mempengaruhi kadar prolaktin ibu postpartum. Jika perpisahan mengganggu inisiasi menyusui dini dan frekuensi menyusui, gangguan pada pembentukan reseptor prolaktin dapat berdampak pada produksi ASI dan keberhasilan menyusui.
Secara keseluruhan, beberapa bukti dari hasil penelitian menunjukkan bahwa fisiologi hormonal bawaan ibu dan bayi, ketika dipromosikan, didukung dan dilindungi memiliki manfaat yang signifikan baik dalam proses persalinan dan kemungkinan memberikan efek di masa depan dengan mempromosikan kesiapan janin untuk kelahiran dan keselamatan selama persalinan, meningkatkan efektivitas persalinan, memberikan bantuan fisiologis terhadap stres dan nyeri persalinan, mempromosikan ibu berdapatasi pada masa transisi bayi baru lahir dan mengoptimalkan masa menyusui dan keterikatan ibubayi di semua proses menjalani kelahiran sang buah hati.
Amis, D. (2019) ‘Healthy Birth Practice #1: Let Labor Begin on Its Own’, The Journal of Perinatal Education, 28(2), pp. 68–80. doi: 10.1891/1058-1243.28.2.68.
Buckley, S. J. (2015) ‘Executive Summary of Hormonal Physiology of Childbearing: Evidence and Implications for Women, Babies and Maternity Care’, The Journal of Perinatal Education, 24(3), pp. 145–153